BAGINDA tersenyum melihat Perdana
Menteri mengiringkan seorang gadis cantik. Amarahnya yang meluap-luap kemarin
lenyap seperti embun ditimpa sinar matahari. Dalam keadaan gembira sekarang ini
Baginda menyesal atas kemarahannya kemarin.
“Yang Mulia……………………..,” tutur
perdana menteri. “inilah persembahan hamba, sesuatu titah Paduka Yang Mulia.
Baginda tersenyum puas. Pada
wajahnya terbayang perasaan kasih sayangnya kepada Perdana Menteri yang sudah
lama mengabdi dan penuh kesetiaan kepadanya. Tapi mata baginda yang tajam
menangkap perasaan gelisah dan kurang ikhlas di wajah Perdana Menteri itu.
“Aku gembira atas pengabdianmu
itu. Tapi apakah sebenarnya yang terjadi?” Tanya baginda.
“tak sesuatupun yang mulia.
Segalanya dalam keadaan baik-baik saja sebagaimana paduka kehendaki” sahut
Perdana Menteri dengan hati berdebar. Ia merasa heran atas ketajaman perasaan
Baginda.
“Kebo Anabrang…………,” kata Baginda
lagi kepada Perdana Menteri. Kita sudah sama-sama tahu, sudah lama saling
memahami satu sama lain. Kenapa kau masih mau mencoba membohongiku?”
Sabda Baginda ini sebenarnya
biasa-biasa saja. Tetapi bagi Perdana Menteri terdengar seperti sebuah tuntutan
yang mengancam. Bahkan terasa lebih dahsyat daripada ancaman Baginda yang
kemarin, ketika Perdana Menteri menghadap tanpa membawa pesanan Baginda. Oleh
karena itu, dengan terbata-bata Perdana Menteri pun menyambung.
“Beribu-ribu ampun, Yang Mulia,”
katanya “Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang hamba risaukan, kecuali puteri
hamba ini. Gadis yang hamba persembahkan kepada Paduka ini, tak lain adalah puteri hamba sendiri,”
katanya lagi.
Baginda membelalak kaget. Dengan
sengaja Baginda selama ini menghindarkan diri agar tidak mengganggu puteri
Perdana Menteri, tetapi mengapa sekarang justru Perdana Menteri itu sendiri
yang mempersembahkannya?
“Mengapa hal ini kau lakukan?”
Tanya Baginda. “Tahukah kau, bahwa selama ini aku sengaja menghindarkan diri
agar tidak mengganggunya?”
“Yang Mulia, ini adalah kehendak
puteri hamba sendiri. Dengan susah payah hamba mencoba mencegahnya, tapi ia
tetap berkeras pada pendiriannya,” sahut Perdana Menteri lagi.
Baginda mengangguk-angguk.
Wajahnya membayangkah bahwa beliau sedang berfikir keras.
“Terserahlah kalau hal itu memang
dia kehendaki,” sabda Baginda kemudian. Tapi keraguan tetap membayang di
wajahnya. Belum pernah Baginda mengalami keraguan seperti saat ini.
“Kau boleh pergi sekarang,” titah
Baginda tiba-tiba. Sambil berdebar-debar Perdana Menteri meninggalkan ruangan
Baginda. Kini tinggalah Baginda bersama Ranuka.
Pada tengah malam, Ranuka
mengajukan permohonannya kepada Baginda. Hal ini memang sudah direncanakan
secara teliti bersama Rakata sejak mereka masih di rumah.
“Mohon ampun yang mulia,” sembah
Ranuka
“APa Ranuka?” Tanya Baginda
“Dapatkah kiranya hamba
mengajukan suatu permohonan?” Tanya Ranuka
“Asal kau tidak menginginkan
bintang dilangit, aku akan mengabulkan. Nah, katakana apa saja yang kau
inginkan?”
“Hamba mohon ijinkanlah memanggil
adik hamba kesini, supaya dapat menemani hamba,” sahut Ranuka
“Permintaanmu aku penuhi,” sahut
Baginda. Kemudian Baginda memerintahkan pengawal untuk menjemput Rakata. Dan
sebentar kemudian Rakata telah dibawa menghadap.
“Nah, apa yang kau inginkan dari
adikmu?” Tanya Baginda.
“Adik hamba pandai menghibur
dengan berbagai cerita yang mulia. Sekiranya Yang Mulia tidak keberatan, hamba
ingin Rakata menceritakan kisah apa saja buat hamba,” sahut Ranuka.
“Beribu-ribu ampun yang mulia,
hamba mempunyai cerita tentang saudagar dan jin,” sembah Rakata.
“Ceritakanlah, aku ingin sekali
mendengarnya,” titah Baginda lagi.
“Suatu hari,” Rakata mulai
bercerita. “Seorang saudagar yang kaya raya berjalan-jalan di sebuah kota. Tujuannya adalah
untuk menagih uang yang dipinjam oleh para langganannya. Sudah jauh sekali ia
berjalan. Lelah mulai terasa. Oleh karena itu, saudagar kaya tersebut
memutuskan untuk berhenti di suatu tempat.
Duduklah ia dibawah sebatang
pohon yang rindang di pinggir jalan. Sambil melepas lelah, saudagar itu makan
buah kurma. Tiba-tiba datanglah Jin yang menyeramkan.
“Berdiri,” bentak Jin tersebut.
Saudagar kaya itu ketakutan. Wajahnya menjadi pucat seketika. Jin itu merasa
gembira menyaksikan betapa takut saudagar itu kepadanya. Ia tertawa
terbahak-bahak. Getar suaranya seperti jerit seribu setan dari kuburan. Dan
saudagar itu bertambah takut.
“Berdiri,” kata jin itu lagi “Aku
bunuh kau skarang,”
Dengan tertatih-tatih saudagar
mencoba berdiri. Ia memberanikan diri bertanya.
“Apa salahku?” katanya
“Kau melempar-lempar biji kurma
dan menimpa anakku sampai mati. Nah terimalah balasanku. Nyawa dibayar nyawa.
Dan kau harus rela mati,” kata jin itu sekali lagi.
“Maafkanlah aku, sungguh mati aku
tak sengaja.” Sahut saudagar kaya itu.
“Apa bedanya? Sengaja atau tidak,
kau telah membunuh anakku. Maka aku harus membunuhmu sekarang,” sahut jin
dengan marah.
“baiklah tuan jin. Tapi
ketahuilah, aku ini seorang saudagar urusanku masih sangat banyak. Oleh karena
itu, berilah aku tempo barang satu minggu untuk menyelesaikan seluruh urusanku.
Sesudah waktu yang satu minggu itu, aku akan dating kepadamu. Saat itu nyawaku
adalah milikmu. Bagaimana tuan jin? Bisakah begitu?” Tanya saudagar kaya itu.
“Satu minggu,” kata Jin itu
seolah hanya untuk dirinya sendiri, “OKe. Aku beri kesempatan seminggu. Tapi
jangan coba-coba kau menipuku. Aku tahu apa yang harus kulakukan sekiranya kau
menipu,” Ancam Jin itu.
“Aku berjanji,” sahut saudagar.
Ia memang tidak pernah melanggar janji, oleh karena itu, seminggu kemudian ia
pun menunggu jin tersebut dibawah pohon rindang. Memang disitulah mereka
berjanji.
Tiba-tiba saudagar kaya itu
merasa amat sedih. Umurnya tinggal beberapa saat lagi. Padahal ia masih muda,
anaknya masih kecil-kecil dan ia sendiri masih ingin tetap hidup. Lama ia
merenung disitu. Air matanya meleleh berderai-derai di pipinya.
Ketika itu lewatlah seorang Kyai
yang menuntun seekor rusa. Ia heran melihat saudagar itu nampak bersedih hati.
“Mengapa kau nampak begitu
sedih?” Tanya Pak Kyai, caranya bertanya begitu sopan dan lembut. Nampak betapa
ia memahami kesulitannya. Bahkan nampak Pak Kyai itu mau saja membantunya.
“Begini pak Kyai,” Sahut saudagar
kaya. Kemudian di ceritakannyalah masalah yang dihadapinya. Pak Kyai
mengangguk-angguk mendengar kisah saudagar kaya itu.
“Kasihan kamu, Kasihan kamu,”
katanya pelan, sambil berfikir keras untuk membantu saudagar kaya tersebut.
Tiba-tiba datanglah Jin sambil
membawa sebilah pedang. Nafsu membunuhnya mulai berkobar di hatinya, ketika
dilihatnya saudagar kaya itu.
“Sampailah janjimu sekarang,”
katanya penuh ancaman
“Sabar sedikit tuan” kata Pak
Kyai
“Siapa kau ini” Tanya Jin dengan
bengisnya.
“Aku seorang Kyai,” sahut Pak
Kyai
“Apa yang kau kehendaki? Aku mau
membunuh saudagar ini karena ia telah membunuh anakku,” kata Jin itu lagi “Apa
kau merasa keberatan? Katakan terus terang, supaya lehermu aku penggal
sekalian,”
“Bukan, bukan begitu maksudku,”
sahut Pak Kyai. Sekitanya tidak keberatan, aku ingin menceritakan nasibku dan
Pusaka ini. Kalau kau anggap ceritaku ini aneh dan menarik, kuharap kau
bersedia memberiku setetes saja darah saudagar itu,” kata Pak Kyai.
“Ha….ha….ha….,” Jin itu ketawa
terbahak-bahak. “Kau memang seorang badut. Kukira kau akan mengatakan sesuatu
yang penting. Ternyata hanya itu saja. Baiklah, baiklah, kuberi kau kesempatan
yang kau minta. Dan aku pun tidak keberatan memberimu barang setetes, darah
saudagar itu,” kata Jin itu lagi,” Nah, coba kau ceritakan bagaimana kisahmu
dan urusanmu itu………………………..,”
1 komentar:
Hikayat 1001 Malam = 4 Jilid
Penerjemah : Fuad Syaifudin Nur
Penyunting : Anis Maftuhin
Tata Letak : Ade Damayanti
Desain Sampul : Tim Qisthi Prss
ISBN: 978-979-1303-11-8
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Jenis Buku: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Kategori: Kisah Islami
Harga : Rp. 625.000,-
Harga Promo : Rp.425.000,-
Free Ongkir utk DKI Jakarta, Luar DKI sesuai tarif ekpedisi.
Hub. Sapto Senoaji Hp.0818051579 Pin BB :270B3B47
Posting Komentar