Sabtu, 19 Mei 2012

Kisah 1001 Malam Episode 3 : Jin Yang Ketakutan


BAGINDA tersenyum melihat Perdana Menteri mengiringkan seorang gadis cantik. Amarahnya yang meluap-luap kemarin lenyap seperti embun ditimpa sinar matahari. Dalam keadaan gembira sekarang ini Baginda menyesal atas kemarahannya kemarin.
 
“Yang Mulia……………………..,” tutur perdana menteri. “inilah persembahan hamba, sesuatu titah Paduka Yang Mulia.

Baginda tersenyum puas. Pada wajahnya terbayang perasaan kasih sayangnya kepada Perdana Menteri yang sudah lama mengabdi dan penuh kesetiaan kepadanya. Tapi mata baginda yang tajam menangkap perasaan gelisah dan kurang ikhlas di wajah Perdana Menteri itu.

“Aku gembira atas pengabdianmu itu. Tapi apakah sebenarnya yang terjadi?” Tanya baginda.

“tak sesuatupun yang mulia. Segalanya dalam keadaan baik-baik saja sebagaimana paduka kehendaki” sahut Perdana Menteri dengan hati berdebar. Ia merasa heran atas ketajaman perasaan Baginda.

“Kebo Anabrang…………,” kata Baginda lagi kepada Perdana Menteri. Kita sudah sama-sama tahu, sudah lama saling memahami satu sama lain. Kenapa kau masih mau mencoba membohongiku?”

Sabda Baginda ini sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi bagi Perdana Menteri terdengar seperti sebuah tuntutan yang mengancam. Bahkan terasa lebih dahsyat daripada ancaman Baginda yang kemarin, ketika Perdana Menteri menghadap tanpa membawa pesanan Baginda. Oleh karena itu, dengan terbata-bata Perdana Menteri pun menyambung.

“Beribu-ribu ampun, Yang Mulia,” katanya “Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang hamba risaukan, kecuali puteri hamba ini. Gadis yang hamba persembahkan kepada Paduka  ini, tak lain adalah puteri hamba sendiri,” katanya lagi.

Baginda membelalak kaget. Dengan sengaja Baginda selama ini menghindarkan diri agar tidak mengganggu puteri Perdana Menteri, tetapi mengapa sekarang justru Perdana Menteri itu sendiri yang mempersembahkannya?

“Mengapa hal ini kau lakukan?” Tanya Baginda. “Tahukah kau, bahwa selama ini aku sengaja menghindarkan diri agar tidak mengganggunya?”

“Yang Mulia, ini adalah kehendak puteri hamba sendiri. Dengan susah payah hamba mencoba mencegahnya, tapi ia tetap berkeras pada pendiriannya,” sahut Perdana Menteri lagi.

Baginda mengangguk-angguk. Wajahnya membayangkah bahwa beliau sedang berfikir keras.

“Terserahlah kalau hal itu memang dia kehendaki,” sabda Baginda kemudian. Tapi keraguan tetap membayang di wajahnya. Belum pernah Baginda mengalami keraguan seperti saat ini.

“Kau boleh pergi sekarang,” titah Baginda tiba-tiba. Sambil berdebar-debar Perdana Menteri meninggalkan ruangan Baginda. Kini tinggalah Baginda bersama Ranuka.

Pada tengah malam, Ranuka mengajukan permohonannya kepada Baginda. Hal ini memang sudah direncanakan secara teliti bersama Rakata sejak mereka masih di rumah.

“Mohon ampun yang mulia,” sembah Ranuka
“APa Ranuka?” Tanya Baginda
“Dapatkah kiranya hamba mengajukan suatu permohonan?” Tanya Ranuka
“Asal kau tidak menginginkan bintang dilangit, aku akan mengabulkan. Nah, katakana apa saja yang kau inginkan?”

“Hamba mohon ijinkanlah memanggil adik hamba kesini, supaya dapat menemani hamba,” sahut Ranuka

“Permintaanmu aku penuhi,” sahut Baginda. Kemudian Baginda memerintahkan pengawal untuk menjemput Rakata. Dan sebentar kemudian Rakata telah dibawa menghadap.

“Nah, apa yang kau inginkan dari adikmu?” Tanya Baginda.
“Adik hamba pandai menghibur dengan berbagai cerita yang mulia. Sekiranya Yang Mulia tidak keberatan, hamba ingin Rakata menceritakan kisah apa saja buat hamba,” sahut Ranuka.

“Beribu-ribu ampun yang mulia, hamba mempunyai cerita tentang saudagar dan jin,” sembah Rakata.

“Ceritakanlah, aku ingin sekali mendengarnya,” titah Baginda lagi.

“Suatu hari,” Rakata mulai bercerita. “Seorang saudagar yang kaya raya berjalan-jalan di sebuah kota. Tujuannya adalah untuk menagih uang yang dipinjam oleh para langganannya. Sudah jauh sekali ia berjalan. Lelah mulai terasa. Oleh karena itu, saudagar kaya tersebut memutuskan untuk berhenti di suatu tempat.

Duduklah ia dibawah sebatang pohon yang rindang di pinggir jalan. Sambil melepas lelah, saudagar itu makan buah kurma. Tiba-tiba datanglah Jin yang menyeramkan.

“Berdiri,” bentak Jin tersebut. Saudagar kaya itu ketakutan. Wajahnya menjadi pucat seketika. Jin itu merasa gembira menyaksikan betapa takut saudagar itu kepadanya. Ia tertawa terbahak-bahak. Getar suaranya seperti jerit seribu setan dari kuburan. Dan saudagar itu bertambah takut.

“Berdiri,” kata jin itu lagi “Aku bunuh kau skarang,”

Dengan tertatih-tatih saudagar mencoba berdiri. Ia memberanikan diri bertanya.
“Apa salahku?” katanya
“Kau melempar-lempar biji kurma dan menimpa anakku sampai mati. Nah terimalah balasanku. Nyawa dibayar nyawa. Dan kau harus rela mati,” kata jin itu sekali lagi.

“Maafkanlah aku, sungguh mati aku tak sengaja.” Sahut saudagar kaya itu.
“Apa bedanya? Sengaja atau tidak, kau telah membunuh anakku. Maka aku harus membunuhmu sekarang,” sahut jin dengan marah.

“baiklah tuan jin. Tapi ketahuilah, aku ini seorang saudagar urusanku masih sangat banyak. Oleh karena itu, berilah aku tempo barang satu minggu untuk menyelesaikan seluruh urusanku. Sesudah waktu yang satu minggu itu, aku akan dating kepadamu. Saat itu nyawaku adalah milikmu. Bagaimana tuan jin? Bisakah begitu?” Tanya saudagar kaya itu.

“Satu minggu,” kata Jin itu seolah hanya untuk dirinya sendiri, “OKe. Aku beri kesempatan seminggu. Tapi jangan coba-coba kau menipuku. Aku tahu apa yang harus kulakukan sekiranya kau menipu,” Ancam Jin itu.

“Aku berjanji,” sahut saudagar. Ia memang tidak pernah melanggar janji, oleh karena itu, seminggu kemudian ia pun menunggu jin tersebut dibawah pohon rindang. Memang disitulah mereka berjanji.

Tiba-tiba saudagar kaya itu merasa amat sedih. Umurnya tinggal beberapa saat lagi. Padahal ia masih muda, anaknya masih kecil-kecil dan ia sendiri masih ingin tetap hidup. Lama ia merenung disitu. Air matanya meleleh berderai-derai di pipinya.

Ketika itu lewatlah seorang Kyai yang menuntun seekor rusa. Ia heran melihat saudagar itu nampak bersedih hati.

“Mengapa kau nampak begitu sedih?” Tanya Pak Kyai, caranya bertanya begitu sopan dan lembut. Nampak betapa ia memahami kesulitannya. Bahkan nampak Pak Kyai itu mau saja membantunya.

“Begini pak Kyai,” Sahut saudagar kaya. Kemudian di ceritakannyalah masalah yang dihadapinya. Pak Kyai mengangguk-angguk mendengar kisah saudagar kaya itu.

“Kasihan kamu, Kasihan kamu,” katanya pelan, sambil berfikir keras untuk membantu saudagar kaya tersebut.

Tiba-tiba datanglah Jin sambil membawa sebilah pedang. Nafsu membunuhnya mulai berkobar di hatinya, ketika dilihatnya saudagar kaya itu.

“Sampailah janjimu sekarang,” katanya penuh ancaman
“Sabar sedikit tuan” kata Pak Kyai
“Siapa kau ini” Tanya Jin dengan bengisnya.
“Aku seorang Kyai,” sahut Pak Kyai
“Apa yang kau kehendaki? Aku mau membunuh saudagar ini karena ia telah membunuh anakku,” kata Jin itu lagi “Apa kau merasa keberatan? Katakan terus terang, supaya lehermu aku penggal sekalian,”

“Bukan, bukan begitu maksudku,” sahut Pak Kyai. Sekitanya tidak keberatan, aku ingin menceritakan nasibku dan Pusaka ini. Kalau kau anggap ceritaku ini aneh dan menarik, kuharap kau bersedia memberiku setetes saja darah saudagar itu,” kata Pak Kyai.

“Ha….ha….ha….,” Jin itu ketawa terbahak-bahak. “Kau memang seorang badut. Kukira kau akan mengatakan sesuatu yang penting. Ternyata hanya itu saja. Baiklah, baiklah, kuberi kau kesempatan yang kau minta. Dan aku pun tidak keberatan memberimu barang setetes, darah saudagar itu,” kata Jin itu lagi,” Nah, coba kau ceritakan bagaimana kisahmu dan urusanmu itu………………………..,”





Artikel Terkait:

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Hikayat 1001 Malam = 4 Jilid
Penerjemah : Fuad Syaifudin Nur
Penyunting : Anis Maftuhin
Tata Letak : Ade Damayanti
Desain Sampul : Tim Qisthi Prss
ISBN: 978-979-1303-11-8
Ukuran: 15,5 x 24 cm
Jenis Buku: Hard Cover
Jenis Kertas: HVS
Kategori: Kisah Islami
Harga : Rp. 625.000,-
Harga Promo : Rp.425.000,-
Free Ongkir utk DKI Jakarta, Luar DKI sesuai tarif ekpedisi.
Hub. Sapto Senoaji Hp.0818051579 Pin BB :270B3B47

Posting Komentar

Bisnis Pulsa

 
;