Senin, 07 Mei 2012

Kisah 1001 Malam Episode 2 : DONGENG PUTRI PERDANA MENTERI


SETIBA di rumah, wajah Perdana Menteri masih nampak kumuh seperti kain basah. Lama ia termenung-menung di kamar kerjanya tanpa menghasilkan sesuatu yang berguna.

“kalau saja Ranuka bukan anakku sendiri,” pikirnya dengan wajah tetap murung.

Di luar kesadarannya, kadang-kadang memang terpikir olehnya untuk mengorbankan Ranuka, anaknya sendiri supaya kedudukan Perdana Menteri tetap di tangannya. Tapi bulu kuduknya segera bergidik membayangkan betapa kejamnya kalau hal itu dia lakukan.

Ia memang menpunyai dua orang puteri, Ranuka dan Rakata. Kedua puterinya ini amat sayang kepadanya. Jadi bagaimana mungkin dia akan mengorbankan salah satu diantaranya? Betul bahwa dia tak ingin kehilangan jabatan itu. Tetapi ia pun tak mau membayarnya terlalu mahal, dengan mengorbankan puterinya sendiri.

“hemmmm….,” sang Perdana Menteri mendesah. Tarikan nafasnya terasa begitu berat. Ranuka tiba-tiba muncul di ruangan itu. Kemudian disusul Rakata. Wajah kedua remaja jelita itu begitu jernih. Kadang-kadang sang Perdana Menteri keliru membedakan mana Ranuka dan mana Rakata.

“kenapa Ayah kelihatan muram? Apa yang sedang Ayah pikirkan?” Tanya Ranuka.

Perdana menteri hanya mendengus. Nafasnya terasa sesak. Ranuka dan Rakata merasa kasihan melihat keadaan Ayahnya.

“adakah sesuatu yang ayah pikirkan?” Tanya Rakata
“ ya, “ sahut ayahnya. Jawaban singkat begini merupakan suatu pertanda kegelisahan pada Ayahnya. Amat jarang hal ini terjadi. Dan itu berarti Ayahnya tak mau mengatakan apa yang merundung kalbunya.

Tetapi kedua puterinya mendesak agar sang Ayah menceritakannya.

“baiklah, Ayah akan menceritakannya. Ini sebenarnya lebih merupakan soal dinas,” kata perdana menteri akhirnya. Lalu diceritakan kesulitan yang sedang dihadapinya itu.

“kalau begitu, biarlah aku menolong Ayah,” kata Ranuka.
“menolong ayah? Dengan cara apa?” Tanya Perdana Menteri heran.
“Ijinkan aku menjadi pengganti gadis-gadis lain itu. Akulah yang harus ayah bawa menghadap Baginda nanti sore,” kata Ranuka tegas.

“kamu? Ayah harus membawamu dan menyerahkanmu di tangan baginda? Tahukah kamu, bahaya apa yang mengancammu?”

“tahu, yah. Tapi aku harus menolong Ayah dan gadis-gadis lain,”

“Ayah tahu. T api itu perbuatan edan. Itu artinya kau menyodorkan lehermu ke tiang gantungan. Jangan Ranuka. Ayah bangga melihat tekadmu. Tapi Ayah tak bias melihat kau digantung atau dipenggal di alun-alun keraton pada saat matahari terbit esok hari,” kata Perdana Menteri lagi. Wajahnya membayangkan dengan jelas kekacauan pikirannya.

“bukankah Ayah selalu mengatakan aku sudah dewasa?” kata Ranuka.

“betul. Itu betul. Tapi apa hubungannya kedewasaanmu dengan tiang gantungan? Apa kau mengira kalau seorang anak sudah dewasa lantas bebas meninggalkan Ayahnya menuju tiang gantungan? Sadarlah kau, anakku, bahwa pikiranmu sudah miring, sudah tidak waras lagi?”

“Ayah,” potong Rakata. Sejak tadi ia diam saja, tapi sekarang betul-betul tak sabar menghadapi Ayahnya. “nampaknya Ayah terlalu ketakutan sehingga setiap langkah Ayah hanya dari sudut yang menakutkan belaka. Kalau Ayah menganggap kami sudah cukup dewasa, berilah kami kebebasan berbuat sesuatu untuk menghentikan tindakan keji Baginda,” katanya lagi.

“Masya Allah tuhanku,” jerit Perdana Menteri. “Rakata, sadarkah kau anakku, apa yang kau katakan? Kau melawan kekuasaan Baginda, begitu?”

“Aku dan Ranuka, kakakku, hanya ingin membela pihak yang lemah. Bukankah Ayah sendiri dulu selalu mengatakan, kita harus membela si lemah? Bukankah itu tugas mulia? Bukankan setiap orang memikul di pundaknya tugas itu? Bukankan kematian itu Tuhan yang punya? Dan bukankah Tuhan jauh lebih kuasa daripada sejuta Raja?”

Perdana Menteri serasa diberondong meriam oleh Rakata. Pada hakekatnya Rakata lebih pendiam dari Ranuka. Tetapi sekali ia bicara, luar biasa semangatnya. Tak seorangpun bias menghentikannya jika ia sendiri tak menghendakinya.

“kalau begitu terserahlah. Tererah apa yang akan kalian lakukan,” kata Perdana Menteri. Ia sudah tidak bisa melihat celah-celah mana yang bisa digunakan untuk menahan keinginan kedua puterinya. Kali ini ia betul-betul pasrah tanpa daya. Seperti penjaga gawang yang terus-menerus kebobolan.

“Tuhanku …….,” keluhnya. “adakah mereka yang lebih kejam dari penderitaanku ini?”

Dengan langkah terseok-seok ia menuju ke tempat tidur untuk menenangkan pikirannya. Tapi disitu pun ia merasa tetap kacau.

Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Bisnis Pulsa

 
;