SETIBA di rumah, wajah Perdana
Menteri masih nampak kumuh seperti kain basah. Lama ia termenung-menung di
kamar kerjanya tanpa menghasilkan sesuatu yang berguna.
“kalau saja Ranuka bukan anakku
sendiri,” pikirnya dengan wajah tetap murung.
Di luar kesadarannya,
kadang-kadang memang terpikir olehnya untuk mengorbankan Ranuka, anaknya
sendiri supaya kedudukan Perdana Menteri tetap di tangannya. Tapi bulu kuduknya
segera bergidik membayangkan betapa kejamnya kalau hal itu dia lakukan.
Ia memang menpunyai dua orang
puteri, Ranuka dan Rakata. Kedua puterinya ini amat sayang kepadanya. Jadi
bagaimana mungkin dia akan mengorbankan salah satu diantaranya? Betul bahwa dia
tak ingin kehilangan jabatan itu. Tetapi ia pun tak mau membayarnya terlalu
mahal, dengan mengorbankan puterinya sendiri.
“hemmmm….,” sang Perdana Menteri
mendesah. Tarikan nafasnya terasa begitu berat. Ranuka tiba-tiba muncul di
ruangan itu. Kemudian disusul Rakata. Wajah kedua remaja jelita itu begitu
jernih. Kadang-kadang sang Perdana Menteri keliru membedakan mana Ranuka dan
mana Rakata.
“kenapa Ayah kelihatan muram? Apa
yang sedang Ayah pikirkan?” Tanya Ranuka.
Perdana menteri hanya mendengus.
Nafasnya terasa sesak. Ranuka dan Rakata merasa kasihan melihat keadaan
Ayahnya.
“adakah sesuatu yang ayah
pikirkan?” Tanya Rakata
“ ya, “ sahut ayahnya. Jawaban
singkat begini merupakan suatu pertanda kegelisahan pada Ayahnya. Amat jarang
hal ini terjadi. Dan itu berarti Ayahnya tak mau mengatakan apa yang merundung
kalbunya.
Tetapi kedua puterinya mendesak
agar sang Ayah menceritakannya.
“baiklah, Ayah akan
menceritakannya. Ini sebenarnya lebih merupakan soal dinas,” kata perdana
menteri akhirnya. Lalu diceritakan kesulitan yang sedang dihadapinya itu.
“kalau begitu, biarlah aku
menolong Ayah,” kata Ranuka.
“menolong ayah? Dengan cara apa?”
Tanya Perdana Menteri heran.
“Ijinkan aku menjadi pengganti
gadis-gadis lain itu. Akulah yang harus ayah bawa menghadap Baginda nanti
sore,” kata Ranuka tegas.
“kamu? Ayah harus membawamu dan
menyerahkanmu di tangan baginda? Tahukah kamu, bahaya apa yang mengancammu?”
“tahu, yah. Tapi aku harus
menolong Ayah dan gadis-gadis lain,”
“Ayah tahu. T api itu perbuatan
edan. Itu artinya kau menyodorkan lehermu ke tiang gantungan. Jangan Ranuka.
Ayah bangga melihat tekadmu. Tapi Ayah tak bias melihat kau digantung atau
dipenggal di alun-alun keraton pada saat matahari terbit esok hari,” kata
Perdana Menteri lagi. Wajahnya membayangkan dengan jelas kekacauan pikirannya.
“bukankah Ayah selalu mengatakan
aku sudah dewasa?” kata Ranuka.
“betul. Itu betul. Tapi apa
hubungannya kedewasaanmu dengan tiang gantungan? Apa kau mengira kalau seorang
anak sudah dewasa lantas bebas meninggalkan Ayahnya menuju tiang gantungan?
Sadarlah kau, anakku, bahwa pikiranmu sudah miring, sudah tidak waras lagi?”
“Ayah,” potong Rakata. Sejak tadi
ia diam saja, tapi sekarang betul-betul tak sabar menghadapi Ayahnya.
“nampaknya Ayah terlalu ketakutan sehingga setiap langkah Ayah hanya dari sudut
yang menakutkan belaka. Kalau Ayah menganggap kami sudah cukup dewasa, berilah
kami kebebasan berbuat sesuatu untuk menghentikan tindakan keji Baginda,”
katanya lagi.
“Masya Allah tuhanku,” jerit
Perdana Menteri. “Rakata, sadarkah kau anakku, apa yang kau katakan? Kau melawan
kekuasaan Baginda, begitu?”
“Aku dan Ranuka, kakakku, hanya
ingin membela pihak yang lemah. Bukankah Ayah sendiri dulu selalu mengatakan,
kita harus membela si lemah? Bukankah itu tugas mulia? Bukankan setiap orang
memikul di pundaknya tugas itu? Bukankan kematian itu Tuhan yang punya? Dan
bukankah Tuhan jauh lebih kuasa daripada sejuta Raja?”
Perdana Menteri serasa
diberondong meriam oleh Rakata. Pada hakekatnya Rakata lebih pendiam dari
Ranuka. Tetapi sekali ia bicara, luar biasa semangatnya. Tak seorangpun bias
menghentikannya jika ia sendiri tak menghendakinya.
“kalau begitu terserahlah.
Tererah apa yang akan kalian lakukan,” kata Perdana Menteri. Ia sudah tidak
bisa melihat celah-celah mana yang bisa digunakan untuk menahan keinginan kedua
puterinya. Kali ini ia betul-betul pasrah tanpa daya. Seperti penjaga gawang
yang terus-menerus kebobolan.
“Tuhanku …….,” keluhnya. “adakah
mereka yang lebih kejam dari penderitaanku ini?”
Dengan langkah terseok-seok ia
menuju ke tempat tidur untuk menenangkan pikirannya. Tapi disitu pun ia merasa
tetap kacau.
0 komentar:
Posting Komentar