“Rusa ini, kata Pak Kyai, dulunya
adalah seorang gadis cantik, anak pamnku sendiri. Aku telah menikah dengannya
sejak ia masih kecil. Tiga puluh tahun kami hidup sebagai suami isteri. Tetapi
belum juga mempunyai anak. Oleh karena itu, aku menikah lagi. Sekarang, dari
isteri ke dua, aku mempunyai seorang anak laki-laki. Anakku gagah dan tampan.
Ketika anakku berumur lima belas
tahun, kuajak ia melancong ke berbagai negeri sambil membawa bermacam-macam
dagangan. Begitu sering aku membawanya ke negeri-negeri lain, hingga isteri
pertamaku, si rusa ini merasa iri. Ia padai dalam ilmu sihir. Maka disihirlah
anakku menjadi lembu jantan dan isteriku menjadi lembu betina. Ketika aku
sedang bepergian. Waktu kutanyakan kepadanya dimana mereka, rusa ini menjawab
acuh tak acuh. Seolah tak peduli pada apa yang terjadi disekitarnya.
“perempuan itu telah mati. Dan
anakknya minggat, entah kemana” sahutnya. Tentu saja aku sangat sedih
mendengarnya. Anak satu-satunya yang sangat kusayangi sudah tidak ada lagi.
Berhari-hari aku mengurung diri dalam kamar. Tak lain yang kupikirkan kecuali
anakku, anakku.
Pada suatu hari raya,
kupanggillah pembantuku yang selalu mengembala lembu dan ternak-ternakku yang
lain. Kusuruh ia memilih seekor lembu yang gemuk untuk disembelih. Aku memang
gemar makan daging lembu, terutama pada hari raya.
Diambilnya seekor lembu, yang tak
lain adalah isteriku, yang di sihir oleh rusa ini. Aku berpura-pura hendak
memotongnya dan lembu itu menangis. Air matanya berlelehan. Tentu saja aku
tidak tega. Tak jadi aku memotongnya. Aku suruh pembantuku mencari lembu yang
lain. Tapi isteriku, si rusa ini, memaksaku terus supaya lembu itulah yang kau
potong. Aku tidak bisa menolak permintaannya. Tetapi juga tidak bisa memotong
lembu tersebut. Akhirnya kusuruh pembantuku yang memotongnya.
Ketika dikuliti, sungguh mati tak
ada dagingnya sama sekali. Yang ada hanya tulang dan kulit. Aku sangat
menyesal. Kemudian kusuruh lagi pembantuku untuk mencari lembu yang lain. Dan
diambilnya seekor lembu jantan.
Ketika aku hendak memotongnya,
lembu jantan tadi meronta. Kemudian melonjak keatas, berdiri diatas kedua kaki belakangnya.
Kedua kakinya seperti mau menyalamiku. Dan kemudian ia jatuh, bersimpuh
didepanku. Air matanya bercucuran.
“Apa lagi ini?” pikirku heran.
Aku sama sekali tidak tega melihat dia begitu sedih. Lalu kusuruh pembantuku
mencari lembu yang lain lagi.
“Tak ada lembu yang lebih gemuk
daripada yang itu” sahut isteriku sambil menunjuk kepada lembu jantan tersebut.
“Tapi ia kelihatan bersedih. Dan
aku tidak bisa memotongnya karena ia sendiri Nampak tak begitu ikhlas
menerimanya,” sahutku.
“Tapi tak ada lembu lain. Aku
ingin ini saja yang harus dipotong,” kata isteriku lagi dengan sikap tegas.
Rasanya terlalu tegas baginya, sehingga lebih baik kusebut saja keras kepala.
Lagi pula ia mengancam. Kalau tak mau memotong lembu tersebut, ia tak mau
menganggapku sebagai suaminya dan aku pun tak boleh lagi menganggapnya sebagai
isteriku.
Sekali lagi, aku tak bisa menolak
keinginannya. Aku betul-betul kebingungan. Lama sekali aku merenung, mencari
akal untuk membujuk isteriku. Tapi isteriku tak bisa dibujuk lagi. Dia tetap
ingin lembu jantan itulah yang dipotong.
“Bagaimana akhirnya?” tiba-tiba
Ranuka memutuskan cerita Rakata “Dipotong juga?”
Rakata tidak segera menjawab.
Sejenak ia berdiam diri, Ranuka tak sabar lagi nampaknya.
“Bagaimana akhirnya? Ayo teruskan,
aku senang mendengarnya,” kara Ranuka lagi.
“Sabar, sabar dulu. Tentu saja
aku teruskan cerita ini. Tapi bagaimana caranya? Sekarang sudah hampir pagi.
Fajar sudah menyingsing. Dan sebentar lagi sholat shubuh. Kalau bisa kita
teruskan besok saja,” sahut Rakata.
“Aduh sayang,” sahut Ranuka
berpura-pura. Sebenarnya ia sudah tahu bahwa akan begini jalan ceritanya, sebab
semua sudah direncanakan secara cermat.
“Kalau begitu terserahlah. Aku
tunggu sampai besok,” katanya
“Demi Tuhan” pikir Baginda. “aku tidak
akan membunuh mereka sebelum cerita mereka tamat. Dengan demikian,
puteri-puteri Perdana Menteri itu masih tetap selamat.
0 komentar:
Posting Komentar